Record Details

ANALISIS IMPOR DAGING SAPI DI INDONESIA TAHUN 2000 – 2015

E-Jurnal Ekonomi Pembangunan

View Archive Info
 
 
Field Value
 
Title ANALISIS IMPOR DAGING SAPI DI INDONESIA TAHUN 2000 – 2015
 
Creator Hanum, Tasha Aulia
Setyari, Dr Wiwin
 
Description ANALISIS IMPOR DAGING SAPI DI INDONESIA TAHUN 2000 – 2015
 
Tasha Aulia Hanum1
Dr. Wiwin Setyari, S.E., M.Si2
 
1,2Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana (Unud), Bali, Indonesia
e-mail:tashaaul@gmail.com
 
ABSTRAK
 
Produksi yang tidak sebanding dengan konsumsi membuat pemerintah menerapkan kebijakan mengimpor daging sapi. Analisis impor diperhitungkan untuk mengetahui perubahan selera pada masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kedaulatan pangan pada komoditas daging sapi pada periode 2000 – 2015 dengan 3 indikator utama dalam analisis impor, yaitu berapa besar angka Derajat Keterbukaan Impor (DKI), Derajat Ketergantungan Komoditas (DKK) dan besaran impor tambahan (Marginal Propensity to Import) setiap kenaikan pendapatan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder periode 2000 – 2015. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis regresi linear sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) angka derajat keterbukaan impor rata-rata tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan, tetapi secara periodik terus meningkat; (2) hasil perhitungan derajat konsentrasi komoditas menyatakan Indonesia punya ketergantungan impor terhadap daging sapi; (3) berdasarkan hasil analisis regresi sederhana, didapatkan hasil sebesar 92,98 kg yang memiliki arti jika pendapatan meningkat maka pengeluaran akan volume impor juga meningkat.
 
Kata kunci: derajat keterbukaan impor, derajat konsentrasi komoditas, marginal propensity to import, daging sapi
 
ABSTRACT
 
Production that is higher than consumption makes the government apply the policy of importing beef. Import analysis is taken into account to know the changing taste in society. This study aims to see food sovereignty in beef commodities in the period 2000 - 2015 with 3 main indicators in the analysis of imports, namely how much the number of Degree of Import Openness (DKI), Degree of  Commodity Concentrations (DKK) and the amount of additional imports (Marginal Propensity to Import ) of any increase in income. This research uses descriptive method with quantitative approach. The data used is secondary data period 2000 - 2015. The analysis technique used is simple linear regression analysis technique. The results showed that: (1) the average degree of import disclosure did not show significant increase, but periodically increasing; (2) the calculation of the degree of commodities concentration states that Indonesia has an import dependence on beef; (3) based on the result of simple regression analysis, the result is 92,98 kg which means if the income increase then the expenditure will also increase import volume.
 
Keywords: degree of import openness, degree of commodity concentration, marginal propensity to import, meat beef

PENDAHULUAN
            Proses integrasi internasional yang sekarang terjadi adanya pertukaran pandangan, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan dinamakan globalisasi. Akibat proses globalisasi dalam ekonomi, timbulah istilah perekonomian terbuka. Perekenomian terbuka merupakan sebuah perekonomian yang memiliki interaksi secara bebas dengan perekonomian lain diseluruh dunia (Azhar, 2013). Salah satu faktor penting dalam perekonomian terbuka adalah kegiatan perdagangan internasionalnya yaitu ekspor-impor yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Selama ini, ekspor selalu mendominasi analisis perdagangan luar negeri Indonesia, karena ekspor adalah andalan penghasil devisa satu-satunya yang berasal dari dalam negeri. Namun, analisis impor adalah cerminan ketahanan ekonomi suatu negara untuk membuktikan barang dan jasa produksi dalam negeri masih menguasai selera domestik (Eko Atmaji, 2004). Nilai ekspor-impor total di Indonesia dari tahun 2000 – 2015 akan ditunjukkan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Nilai Ekspor Impor Indonesia Tahun 2000 – 2015 (Juta US Dollar)




Tahun


Non-migas


Migas


Jumlah




Ekspor


Impor


Ekspor


Impor


Ekspor


Impor




2000


47.757,4


27.495,3


14.366,6


6.019,5


62.124,0


33.514,8




2001


43.684,6


25.490,3


12.636,3


5.471,8


56.320,9


30.962,1




2002


45.046,1


24.763,1


12.112,7


6.525,8


57.158,8


31.288,9




2003


47.406,8


24.939,8


13.651,4


7.610,9


61.058,2


32.550,7




2004


55.939,3


34.792,5


15.645,3


11.732,0


71.584,6


46.524,5




2005


66.428,4


40.243,2


19.231,6


17.457,7


85.660,0


57.700,9




2006


79.589,1


42.102,6


21.209,5


18.962,9


100.798,6


61.065,5




2007


92.012,3


52.540,6


22.088,6


21.932,8


114.100,9


74.473,4




2008


107.894,2


98.644,4


29.126,3


30.552,9


137.020,4


129.197,3




2009


97.491,7


77.848,5


19.018,3


18.980,7


116.510,0


96.829,2




2010


129.739,5


108.250,6


28.039,6


27.412,7


157.779,1


135.663,3




2011


162.019,6


136.734,1


41.477,0


40.701,5


203.496,6


177.435,6




2012


153.043,0


149.125,3


36.977,3


42.564,2


190.020,3


191.689,5




2013


149.918,8


141.362,3


32.633,0


45.266,4


182.551,8


186.628,7




2014


145.961,2


134.718,9


30.018,8


43.459,9


175.980,0


178.178,8




2015


131.791,9


118.081,6


18.574,4


24.613,2


150.366,3


142.694,8




Rata-rata


 


 


 


120.158,2


100.400




Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016. Data diolah
            Dapat dilihat pada Tabel 1.1, jumlah nilai ekspor dan impor secara menyeluruh cenderung meningkat, dimana rata-rata nilai ekspor lebih besar dibanding nilai impornya. Nilai ekspor terbesar terjadi pada tahun 2011 yaitu sejumlah 203.496,6 juta USD dan ekspor terendah terjadi pada tahun 2001 sebesar 56.320,9 juta USD. Sedangkan nilai impor tertinggi mencapai 191.689,5 juta USD pada tahun 2012 dan yang terendah mencapai 30.962,1 juta USD ditahun 2001.
            Produk Domestik Bruto atau lebih dikenal dengan istilah PDB, merupakan nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi dalam wilayah Indonesia. Kegiatan impor sangat bergantung pada PDB. Dalam melakukan perdagangan internasional, PDB merupakan factor penting karena menunjukkan kemampuan perkembangan ekonomi suatu negara (Adlin, 2008). Dison (2015), yang menyatakan adanya hubungan satu arah (unidirectional) antara ekspor, PDB dan nilai impor dimana bertambahnya nilai ekspor dan PDB, akan berimbas pada bertambahnya nilai impor.
Tabel 1.2 PDB Atas Harga Konstan Tahun 2010 (dalam Juta US Dollar)




Tahun


Produk Domestik Bruto


Perkembangan (%)




2000


453.413,62


-




2001


469.933,59


3,64




2002


491.078,14


4,50




2003


514.553,48


4,78




2004


540.440,02


5,03




2005


571.204,95


5,69




2006


602.626,66


5,50




2007


640.863,46


6,35




2008


679.403,09


6,01




2009


710.851,78


4,63




2010


755.094,16


6,22




2011


801.681,84


6,17




2012


850.023,66


6,03




2013


897.261,72


5,56




2014


942.184,64


5,01




2015


988.127,96


4,88




Rata-rata


681.796,42


5,00




            Sumber: World Bank, 2017. Data diolah
          Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga konstan tahun 2010 pada Tabel 1.2 dari tahun 2000 – 2015 mengalami fluktuasi. Tahun 2007 merupakan perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang tertinggi yaitu naik sebesar 6,35 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan, perkembangan terendah dari Produk Domestik Bruto (PDB) terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 3,64 persen.
          Selanjutnya, alat pembayaran internasional yang sering digunakan disebut sebagai devisa. Cadangan devisa sangat penting bagi untuk kegiatan impor barang atau jasa suatu negara karena akan digunakan untuk membiayai pembangunan. Investasi yang produktif dapat menjadikan pertumbuhan ekonomi yang baik, dan membuat Indonesia menghindari krisis (Radelet, 1995). Pembangunan dapat diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang nantinya akan mensejahterakan rakyat.
Tabel 1.3 Perkembangan Cadangan Devisa Tahun 2000 – 2015




Tahun


Cadangan Devisa
(dalam Juta USD)


Perkembangan (%)




2000


29.394


-




2001


28.016


-4,69




2002


30.754


9,77




2003


34.724


12,91




2004


36.320


4,60




2005


34.724


-4,39




2006


36.525


5,19




2007


56.920


55,84




2008


51.639


-9,28




2009


66.104


28,01




2010


96.207


45,54




2011


110.123


14,46




2012


112.781


2,41




2013


99.387


-11,88




2014


111.862


12,55




2015


105.931


-5,30




Rata-rata


65.09


10,38




Sumber: Bank Indonesia, 2017. Data diolah
          Tabel 1.3 menunjukkan perkembangan cadangan devisa di Indonesia sepanjang tahun 2000 – 2015 rata-rata sebesar 10,38 persen. Perkembangan devisa tertinggi dalam kurun waktu 2000 – 2015 diperoleh pada tahun 2007 yang mencapai 56.92 juta US Dollar atau naik sekitar 55,84 persen dari tahun sebelumnya dan perolehan devisa terendah dialami Indonesia pada tahun 2013 yaitu sebesar 99.387 juta US Dollar atau minus 11,88 persen.
          Perekonomian Indonesia disokong oleh berbagai sektor. Ada 17 total sektor dalam perekonomian yang terdata oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Dari semua sektor yang ada, untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi sektor pertanian mempunyai peran paling penting, karena sumber pertumbuhan output nasional berasal dari pertanian. Ada lima subsektor pertanian yang ada di Indonesia, salah satunya subsektor peternakan.
   Kemampuan masyarakat akan pemenuhan kebutuhannya menjadi lebih baik jika pendapatan masyarakat meningkat lalu berimbas pada pertumbuhan ekonomi yang meningkat (Yasa, 2015). Konsumsi menu makanan rumah tangga bertahap mengalami perubahan kearah protein hewani dikarenakan adanya peningkatan populasi dan peningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia yang mendorong meningkatnya kebutuhan pangan, khususnya peternakan (Dona, 2016:7). Produk peternakan merupakan komoditas yang bernilai tinggi (high value commodity) dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya dan salah satu sumber protein dapat diperoleh dari daging sapi. Daging sapi yang merupakan komoditas peternakan strategis yang menyebabkan perubahan selera konsumen, dapat memberi perubahan pada pola konsumsi di masyarakat.
            Daging sapi punya beberapa manfaat, diantaranya per 100 gram daging sapi tanpa lemak mengandung 60% kecukupan harian protein. Daging sapi memiliki sumber protein vitamin B6 dan B12, dimana vitamin B12 hanya ditemukan dalam produk hewani dan berfungsi untuk metabolisme sel, menjaga sistem saraf, dan produksi sel darah merah dalam tubuh. Dalam daging sapi, ada kandungan zat besi enam kali lebih tinggi dari daging ternak lainnya. Peran zat besi adalah agar mencegah kerusakan pembuluh darah yang bisa menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Harga daging sapi impor yang cenderung lebih murah menyebabkan tingginya volume impor daging sapi di Indonesia.
Tabel 1.4 Pertumbuhan Konsumsi Produk Daging Sapi per kapita di Indonesia Tahun 2000 – 2015




Tahun


Konsumsi Daging Sapi (kg/kapita/tahun)


Pertumbuhan (%)




2000


1,525


-




2001


1,608


5,47




2002


1,270


-21,01




2003


1,870


47,24




2004


2,120


13,37




2005


1,870


-11,79




2006


1,910


2,14




2007


2,240


17,28




2008


2,300


2,68




2009


2,360


2,61




2010


2,480


5,08




2011


2,600


4,84




2012


2,290


-11,92




2013


2,280


-0,44




2014


2,360


3,51




2015


2,400


1,69




Rata-rata


2,092


4,05




Sumber: Kementerian Pertanian sub-sektor Peternakan, 2016. Data diolah
            Berdasarkan Tabel 1.4, rata-rata konsumsi daging sapi per kapita di Indonesia dari tahun 2000-2015 sebesar 2.09 kg/kapita/tahun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,05%. Setiap tahun kondisi konsumsi produk hewani cenderung meningkat. Artinya, konsumsi daging sapi harian orang Indonesia rata-rata hanya 5,7 gram. Nilai ini jauh dari konsumsi negara-negara berpendapatan rendah di dunia seperti Tanzania, Haiti dan Ethiopia yang masing-masing konsumsi daging sapi hariannya mencapai 12,3 gram, 9,2 gram dan 8,3 gram. Konsumsi daging sapi di Indonesia memang terbilang meningkat untuk 16 tahun belakangan ini. Namun, posisi konsumsi daging sapi Indonesia di mata dunia dapat lebih jelas dilihat pada Gambar 1.1.
Sumber: OECD, 2018 (data diolah)
Gambar 1.1 Rata-rata Konsumsi Daging Sapi Dunia per Kapita Periode 2000 – 2015
            Pada Gambar 1.1, rata-rata konsumsi Indonesia berkisar 2,09 kilogram per kapita per tahun. Hal ini dikatakan lebih rendah dari negara tetangga yaitu Malaysia yang rata-rata masyarakatnya mampu mengkonsumsi daging sapi sebesar 4,53 kg/kapita per tahun, disusul Vietnam 4,46 kg/kapita. Rata-rata konsumsi Indonesia berbeda tipis dengan Thailand yang mencapai urutan 34 dengan 2,33 kilogram per kapita/tahun. Sementara itu, Argentina berada pada posisi pertama dengan rata-rata konsumsi daging sapi sebesar 42,7 kg/kapita dan diikuti Uruguay pada posisi kedua dengan konsumsi sebesar 40,48 kg/kapita. Untuk negara pengekspor daging sapi ke Indonesia seperti Australia, Jepang, Amerika, Kanada rata-rata masing-masing konsumsinya sejumlah 24,81 kg/kapita, 6,85 kg/kapita, 28,53 kg/kapita, 21 kg/kapita, dan menurut data Organisation for Economic Co-operating and Development (OECD) dari total 42 negara yang terdata Brazil menempati urutan ke 4 dengan rata-rata konsumsi 24,93 kg/kapita.
            Ketergantungan terhadap impor pangan yang saat ini semakin memprihatinkan masih menjadi masalah yang dihadapi oleh Indonesia. Menurut Sutaryono (2013 dalam Jiuhardi, 2016:77) konsumsi yang tidak sebanding dengan produksi dalam negeri menjadi alasan utama dalam kebijakan impor. Sama halnya dengan komoditas lain seperti beras, yang dinyatakan bahwa data estimasi konsumsi selalu lebih rendah dibanding produksi, namun kenyataannya Indonesia selalu mengimpor beras (Rosner, 2008). Pemenuhan konsumsi masyarakat untuk pangan dari hasil produksi ternak yaitu daging sapi, dapat dilihat pada Tabel 1.5 tahun 2000-2015.
            Pada Tabel 1.5, jumlah pemenuhan produksi daging sapi mengalami fluktuatif, dimana di tahun 2004 pertumbuhan daging sapi mencapai titik tertingginya sebesar 21,06 persen atau sekitar 447.573 ton lebih besar dari tahun sebelumnya. Tetapi, ditahun 2005 produksi daging sapi mengalami penurunan sebesar minus 19,86 persen atau sekitar 358.704 ton. Sepanjang periode 2000-2015, produksi tertinggi terjadi pada tahun 2011 yakni 508.905 ton dan produksi daging sapi terendah terjadi pada tahun 2002 yang berjumlah 330.290 ton.
Tabel 1.5 Produksi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2000 – 2015




Tahun


Produksi (Ton)


Pertumbuhan (%)




2000


339.941


-




2001


338.685


-0,37




2002


330.290


-2,48




2003


369.711


11,94




2004


447.573


21,06




2005


358.704


-19,86




2006


395.843


10,35




2007


339.479


-14,24




2008


392.511


15,62




2009


409.308


4,28




2010


436.450


6,63




2011


485.335


11,20




2012


508.905


4,86




2013


504.819


-0,80




2014


497.669


-1,42




2015


506.661


1,81




Rata-rata


419.617


3,24




Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2017. Data diolah
            Pemenuhan produksi daging sapi lokal tidak sebanding dengan keadaan konsumsi produk daging sapi yang terus meningkat. Tingginya harga daging sapi mengakibatkan konsumsi pada daging sapi sendiri rendah. Produksi daging sapi yang masih belum dapat mencukupi kebutuhan domestik membuat harga daging tinggi. Sekretaris Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendagri) mencatat sampai saat ini, produksi daging sapi lokal belum bisa memenuhi total kebutuhan hingga akhir tahun. Tahun 2015 total kebutuhan daging sapi hanya mencapai 653,982 ton atau selaras dengan 3.843.787 ekor sapi hidup sedangkan, perkiraan ketersediaan dari lokal hanya sebesar 2.445.577 ekor. Artinya, ada defisit ketersediaan daging sapi sebanyak 227,89 ribu ton (Berita Satu, 2015). Harga jual daging sapi yang tinggi diakibatkan oleh biaya yang tinggi, karena rantai produksi yang panjang. Hal ini disebabkan jarak antara lokasi produksi sapi dan pasar yang berjauhan. Sedangkan, menurut (Wulandari, 2016) besarnya kesempatan kegiatan jual beli dapat terjadi, jika jarak antar konsumen dan produsen semakin dekat. Penyebab harga daging di Indonesia sulit dijangkau karena di Indonesia masing-masing provinsi mempunyai upah minimum yang bervariasi, dimana upah tertinggi diperoleh Jakarta Rp. 3.335.700, sementara upah terendah di provinsi DIY sebesar Rp. 1.337.645. Artinya, orang-orang di kota besar yang didominasi kelas menengah atas lebih mampu untuk membeli daging ketimbang orang-orang di daerah terpencil. Dalam penelitian Dewi tahun 2017 untuk berbelanja di pasar modern mempunyai probabilitas yang lebih tinggi jika pendapatan rumah tangganya meningkat.
            Pemicu lainnya adalah biaya produksi tinggi karena banyaknya perantara membuat harga akhir di konsumen semakin mahal. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Impor Daging Sapi Thomas Sembiring, jika rantai distribusi untuk daging impor diambil dari importir langsung ke distributor dan salurkan ke pedagang serta pengecer sementara untuk peternak lokal alur distribusinya dimulai dari peternak-pedagang desa-calo pasar-pedagang pasar-penjagal/rumah potong hewan-penjual daging lapak (BBC Indonesia, 2017). Untuk mengatasi defisit daging sapi tersebut, pemerintah kemudian mengimpor daging sapi dengan tujuan untuk menstabilkan harga.
            Berdasarkan Tabel 1.6, peningkatan terbesar pada volume daging sapi di Indonesia jenis HS0202 (frozen bovine meat/daging sapi beku) terjadi pada tahun 2005 yang mencapai 19.202.759 kg, atau sekitar 72,71 persen dari tahun sebelumnya dan nilai impor yang setara dengan 40.91 juta USD. Hal tersebut didukung dengan pasokan produksi daging sapi domestik pada tahun yang sama turun sebesar minus 19,86 persen. Pada tahun 2012, volume impor menurun tajam sebesar 31.428.889 atau minus 49,45 persen dikarenakan pasokan domestik surplus 23.570 ton dari tahun sebelumnya. Namun, pada tahun 2014 volume impor daging sapi kembali naik sebesar 65,70 persen dari tahun sebelumnya dikarenakan adanya defisit produksi daging sapi sebanyak 7.150 ton. Sejak tahun 2000, Indonesia mengalami fluktuasi dan besarnya volume impor daging sapi cenderung meningkat.
Tabel 1.6 Volume dan Nilai Impor Daging Sapi (HS0202) ke Indonesia Periode 2000 – 2015




Tahun


Volume Impor (kg)


Perkembangan (%)


Nilai Impor (Juta US Dollar)


Perkembangan (%)




2000


25.960.804


-


39,39


-




2001


15.954.815


-38,54


22,79


-42,14




2002


11.034.934


-30,84


17,86


-21,62




2003


10.278.237


-6,86


17,68


-1,02




2004


11.118.751


8,18


25,52


44,37




2005


19.202.759


72,71


40,91


60,26




2006


23.832.412


24,11


46,22


12,99




2007


39.058.177


63,89


89,21


93,01




2008


44.916.384


15,00


123,12


38,00




2009


66.122.292


47,21


182,99


48,63




2010


88.828.788


34,34


281,98


54,09




2011


62.175.767


-30,00


219,89


-22,02




2012


31.428.889


-49,45


127,71


-41,92




2013


42.363.774


34,79


189,41


48,31




2014


70.197.599


65,70


318,46


68,13




2015


47.246.495


-32,69


215,12


-32,45




Sumber: UNCOMTRADE, 2017.
            Daging sapi impor yang pada awalnya bertujuan untuk membantu dan memenuhi kebutuhan nasional akan daging sapi malah terus melonjak dan mengakibatkan efek demonstrasi pada masyarakat yakni membuat pola konsumsi masyarakat yang ‘membenci’ segala sesuatu yang berbau dalam negeri dan memuja barang impor, dimana pengaturan manajemen budidaya dan pengelolaan sumber daya produksi sapi di negara pengekspor sangat efisien dibandingkan Indonesia faktanya harga daging sapi impor relatif lebih murah (Maraya, 2013:3).
            Berdasarkan gambaran kondisi konsumsi, produksi, dan impor daging sapi di Indonesia, maka dibutuhkan suatu kajian atau penelitian yang membahas mengenai analisis impor terhadap daging sapi dengan tiga indikator, yaitu: kecenderungan keterbukaan impor di Indonesia, kecenderungan tingkat ketergantungan impor komoditas, khususnya daging sapi di Indonesia dan besaran impor tambahan akibat adanya peningkatan pendapatan (PDB), sehingga dapat diketahui besarnya keterbukaan impor daging sapi, dan besarnya derajat konsentrasi komoditas daging sapi dan mengetahui besarnya kecenderungan impor tambahan akibat naiknya pendapatan nasional di Indonesia sekaligus menganalisis tindakan yang mengurangi impor daging sapi ke Indonesia dan meningkatkan produksi domestik.
METODOLOGI
 
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif berbentuk deskriptif.Lokasi penelitian berada di Indonesia dengan melakukan pendataan terhadap Kementerian Pertanian sub sektor peternakan pada periode 2000 – 2015 dengan mengakses data pada website resmi Badan Pusat Statistik Indonesia (www.bps.go.id), United Nation International Trade Commodity Database (www.comtrade.un.org), Organisation for Economic Co-operating and Development (OECD), World Bank (http://data.worldbank.org) dan Bank Indonesia (www.bi.go.id). Lokasi ini dipilih karena daging sapi menjadi komoditas pangan yang strategis di Indonesia dan menurut peneliti, periode tersebut menggambarkan kondisi terkini dari impor daging sapi. Obyek dari penelitian ini adalah dampak dari konsumsi daging sapi impor. Terdapat 4 variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, derajat keterbukaan impor dan derajat konsentrasi komoditas sebagai variabel mandiri dan volume impor daging sapi sebagai variabel dependen sertaa produk domestik bruto sebagai variabel indenpenden.
            Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dalam bentuk time series. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data nilai ekspor – impor total, data PDB harga konstan tahun 2010, data jumlah cadangan devisa, data produksi daging sapi di Indonesia, data nilai dan volume impor daging sapi, data konsumsi produk daging sapi per kapita di Indonesia tahun 2000 – 2015, dalam kurun waktu 16 tahun tersebut digunakan karena adanya isu mafia impor sapi. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik observasi non-partisipan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengamati, mencatat dan mempelajari jurnal, buku-buku, dokumen skripsi, tesis, mengakses institusi yang terkait dengan penelitian melalui situs resminya.
            Alat analisis yang digunakan adalah model ekonometrika, yaitu banyaknya barang (volume impor) yang dilakukan adalah fungsi dari nilai-nilai PDB Indonesia. Model ekonometrika yang digunakan untuk mencari hubungan penambahan impor daging sapi dengan peningkatan pendapatan nasional (dalam hal ini PDB) adalah model linear.
Yti = ? + ? Xti + ?i………………………………………………………….(1)
Keterangan:
Yt            = Volume impor daging sapi pada masing-masing tahun t
?          = konstanta
?          = Koefisien elastisitas representasi permintaan impor daging sapi
Xt            = Nilai PDB Indonesia, pada masing-masing tahun t
t           = Periode/tahun
 ?         = Variabel Penggangu
            Dari analisis ini, koefisien beta menunjukkan representasi dari m (marginal propensity to import). Dari hasil tersebut, apabila semakin tinggi nilai m dapat disimpulkan bahwa setiap kenaikan PDB, kecederungan impor tambahan pada komoditas daging sapi di Indonesia akan semakin besar.
            Pada uji signifikansi, hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini mengacu pada rumusan masalah yang ketiga, yaitu ada atau tidaknya kenaikan yang positif dan signifikan dari PDB (variabel X) sebagai variabel bebas dan volume impor (variabel Y) sebagai variabel terikat. Untuk itu, data yang diperoleh akan di analisis dengan rumus uji ‘t’.
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
            Daging adalah salah satu produk hasil ternak yang sangat disukai masyarakat karena memiliki gizi tinggi yang diperlukan tubuh, bercita rasa kuat, mengenyangkan dan dapat diolah menjadi berbagai variasi (Balitbang Pertanian, 2017).
            Hasil utama dari ternak adalah karkas. Karkas merupakan bagian tubuh ternak penghasil daging yang telah dipisahkan dari bagian-bagian isi perut, kepala, kaki dan kulit. Menurut Badan Standar Nasional Indonesia karkas adalah bagian dari tubuh sapi yang telah disembelih sesuai dengan peraturan yang berlaku, sudah dikuliti dikeluarkan jeroan dan dipisahkan bagian kepala hingga organ bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor serta lemak yang berlebih.
            Jenis daging sapi yang layak dan lazim dikonsumsi di Indonesia ada tiga, yakni daging segar, daging segar dingin dan daging beku. Daging segar artinya daging yang belum diolah atau ditambahkan bahan apapun, sedangkan daging segar dingin adalah daging yang mengalami prosedur pendinginan setelah penyembelihan sehingga suhu bagian dalam daging antara 0 °C dan 4 °C. Daging beku merupakan daging segar yang sudah mengalami proses pembekuan didalam blast freezer dengan suhu bagian dalam minimal mencapai -18 °C (BSNI, 2008).
            Daging sapi impor tadinya hanya untuk menunjang perkembangan bidang pariwisata seperti pemenuhan daging berkualitas untuk hotel atau restoran. Dengan semakin baiknya kondisi perekonomian dan kemajuan tingkat pendidikan serta kesadaran masyarakat terhadap nilai gizi daging, lalu berkembanglah restoran atau café lokal yang menghidangkan menu dengan kelas dan jenis daging potongan tertentu (Ramadhany, 2011). 
            Selain itu, daging impor juga hadir dipasar untuk memperbanyak varian daging sapi, agar masyarakat bisa memilih banyak jenis daging sapi untuk dikonsumsi. Namun, lambat laun fungsi daging sapi impor itu sendiri ‘bergeser’ menjadi pembeda prestise seseorang. Prestise ini memiliki arti pengakuan atas status sosial yang disandang. Akibat globalisasi, masyarakat Indonesia seakan berlomba untuk mencari pengakuan atau reputasi yang lebih dari orang lain. Seiring dengan naiknya pendapatan, kesediaan masyarakat untuk membayar lebih demi kualitas daging sapi juga meningkat.
            Kegiatan impor tersebut mengakibatkan terhambatnya agroindustri sapi potong lokal skala besar yang semakin menjurus pada kegiatan hilir yakni impor dan perdagangan, serta perputaran modal yang terlalu cepat dan resiko yang lebih kecil. Sementara itu, kegiatan di hulu yang merupakan usaha pembibitan dan budidaya sapi, sebagian besar dilakukan oleh peternak dengan skala terbatas dan pendapatan yang kecil. Mereka harus menghadapi persaingan yang kurang seimbang, termasuk serbuan daging sapi impor dari berbagai negara eksportir. Akibatnya, peternak segan menjual sapi potong karena harganya terlampau rendah (Ramadhany, 2011), itulah alasan Indonesia melakukan impor daging sapi.
            Kementerian Pertanian (Kementan) membuka keran impor untuk pasokan kebutuhan daging sapi. Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita, Indonesia saat ini telah menyetujui Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Spanyol sebagai negara asal pengekspor daging sapi. Namun untuk Spanyol, Indonesia masih harus melalui proses analisis risiko yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Republika, 2017). Berikut ini data negara pengekspor daging sapi jenis HS0202 ke Indonesia.
Tabel 4.4 Negara Pengekspor Daging Sapi ke Indonesia (HS0202) Periode 2000 – 2015 (dalam kg)




Tahun


Negara




Australia


Jepang


Selandia Baru


Amerika


Kanada




2000


11.691.761


1.295


4.513.129


689.349


-




2001


6.708.919


54


4.543.195


773.168


-




2002


7.047.223


2.112


3.240.785


587.151


-




2003


6.840.094


528


2.689.868


563.772


-




2004


3.276.161


3.202


7.465.813


349.304


-




2005


7.439.308


-


11.358.517


537.266


-




2006


10.041.082


-


13.790.782


548


-




2007


22.634.079


1.180


16.249.069


96


134.067




2008


25.517.767


-


18.792.950


349.549


256.118




2009


46.099.703


-


19.388.188


-


336.949




2010


47.989.579


-


35.168.388


3.465.099


473.968




2011


38.870.855


-


20.459.396


2.791.519


13.321




2012


23.142.108


-


7.321.818


964.963


-




2013


32.316.173


-


8.589.015


1.419.445


-




2014


54.031.470


1.312


14.028.065


2.064.748


-




2015


36.898.996


667


8.260.282


1.950.116


-




Sumber: UNCOMTRADE, 2018. Data diolah
            Dapat dilihat pada Tabel 4.4 bahwa Australia, Amerika dan Selandia Baru menjadi pemasok daging tetap ke Indonesia. Sedangkan untuk Jepang dan Kanada keran impor yang dibuka menyesuaikan dengan  kebutuhan nasional atas daging sapi.
Pembahasan Hasil Penelitian
Perhitungan Derajat Keterbukaan Impor Komoditas Daging Sapi di Indonesia
            Derajat Keterbukaan Impor (DKI) adalah proporsi volume perdagangan impor terhadap PDB. Dari hasil perhitungan DKI ini, kita bisa menggambarkan besarnya paparan impor suatu negara sehingga dapat diketahui keperluan akan cadangan devisa yang terkuras dari impor tersebut dan mampu menunjukkan seberapa besar dampak buruk efek demonstrasi yang dihadapi oleh suatu negara. Besarnya angka DKI, mempunyai arti semakin besar negara tersebut bergantung pada barang impor, maka cadangan devisa yang akan diperlukan untuk pembiayaan impor semakin besar dan efek demonstrasi yang berimbas pada pola konsumsi akan semakin lebar. Angka DKI dalam suatu perekonomian dapat dihitung dengan rumus M/GDP per tahun (Atmaji, 2004).
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Derajat Keterbukaan Impor Daging Sapi di Indonesia Tahun 2000 – 2015




Tahun


Nilai Impor Daging Sapi (Juta USD)*


Produk Domestik Bruto (Juta USD)*


Derajat Keterbukaan Impor**




2000


39,39


453.413,62


0,0000868743




2001


22,79


469.933,59


0,0000484962




2002


17,86


491.078,14


0,000036369




2003


17,68


514.553,48


0,0000343599




2004


25,52


540.440,02


0,0000472208




2005


40,91


571.204,95


0,0000716205




2006


46,22


602.626,66


0,0000766976




2007


89,21


640.863,46


0,000139203




2008


123,12


679.403,09


0,000181218




2009


182,99


710.851,78


0,000257424




2010


281,98


755.094,16


0,000373437




2011


219,89


801.681,84


0,000274286




2012


127,71


850.023,66


0,000150243




2013


189,41


897.261,72


0,000211098




2014


318,46


942.184,64


0,000338002




2015


215,12


988.127,96


0,000217705




Rata-rata


122,39


681.796,42


0,000159016




Sumber: * UNCOMTRADE dan World Bank, 2017
            ** Data diolah 2018
            Tabel 4.4 menunjukkan hasil perhitungan derajat keterbukaan impor / DKI dari tahun 2000 – 2015. Hasil perhitungan yang didapatkan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, dimana dari tahun 2000 – 2003 rata-rata angka DKI sebesar 0,00018 hal ini memiliki arti cadangan devisa yang digunakan untuk mengimpor daging sapi ke Indonesia sebesar 0,018 persen. Tahun 2004 – 2008 angka rata-rata DKI sebesar 0,000371. Ini mempunyai arti 0,037 persen cadangan devisa dipakai untuk membiayai impor daging sapi pada periode 2004 – 2008. Pada tahun 2009 – 2011, rata-rata angka DKI adalah 0,000722. Artinya sebesar 0,0722 persen cadangan devisa dipakai untuk pembiayaan impor daging sapi pada periode tersebut. Tahun 2012 – 2015 angka rata-rata derajat keterbukaan impor daging sapi di Indonesia adalah 0,000754 ini berarti, 0,0754 persen cadangan devisa dikuras untuk mengimpor daging sapi ke Indonesia.
            Angka DKI yang cenderung meningkat dipengaruhi oleh berbagai fenomena.  Rantai perdagangan untuk produksi daging sapi lokal sendiri terlalu panjang, yang berimbas pada harga yang tinggi konsumen maka dari itu konsumen lebih memilih daging sapi impor. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hadi, et al pada tahun 2013 tentang pereferensi konsumen yang menyebutkan bahwa di Malaysia, konsumen bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk kulitas daging yang lebih baik. Pada penelitian (Permana, 2016) tentang impor buah musiman, impor juga akan menyebabkan rendahnya produksi buah lokal karena kalah bersaing dalam pasar buah lokal.
            Fenomena lain misalnya, pada periode 2004 – 2009 era presiden Susilo Bambang Yudhoyono politik daging sapi menjadi sangat rapuh karena ternyata konsumsi daging sapi nasional sangat bergantung pada impor. Bahkan, impor daging sapi mencapai 40 persen lebih dari kebutuhan nasional (Tempo, 2015). Hal ini didukung dari data World Bank untuk persentase pertumbuhan tahunan untuk impor barang dan jasa, sepanjang periode 2000 – 2015, tahun 2004 memiliki persentase kenaikan pertumbuhan barang impor tertinggi yaitu sebesar 26.653 persen.
            Fenomena yang terjadi ditahun 2007, juga mendorong peningkatan derajat keterbukaan impor. Menurut Organisation for Economic Co-operating and Development (OECD), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut mencapai 6,35 persen dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi meningkat dikarenakan terjadinya peningkatan PDB, jika ditinjau dari teori konsumsi oleh Sadono Sukirno, semakin tinggi pendapatan akan mengakibatkan pengeluaran juga meningkat.
            Periode tahun 2013 – 2015 fenomena yang terjadi adalah maraknya kasus mafia impor impor daging sapi. Mafia impor berhasil memperjuangkan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor daging dan ‘memainkan’ kuota daging yang diperoleh akibatnya, volume impor untuk komoditas daging sapi semakin meningkat dan efek demonstrasi semakin terbuka lebar. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah nomor 4 Tahun 2016 mengenai Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan atau Produk Hewan, pada pasal 6 ayat (1) butir C menyebutkan zona impor untuk produk hewanbersumber dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku dan telah memeiliki program pengendalian resmi penyakit mulut dan kuku.
            Dari undang-undang tersebut dapat kita ketahui bahwa seluruh negara mempunyai peluang untuk mengimpor daging sapi ke Indonesia dan inilah yang dapat membuat derajat keterbukaan impor akan daging sapi semakin meningkat.
Perhitungan Derajat Konsentrasi Komoditas Daging Sapi di Indonesia
            Derajat Konsentrasi Komoditas dalam komponen analisis impor digunakan untuk menghitung besarnya tingkat ketergantungan impor suatu negara menurut komoditas impornya. Hasil dari perhitungan angka DKK ini ada dua macam, yaitu relatif terkonsentrasi dan relatif terdistribusi. Relatif terkonsentrasi mempunyai arti bahwa komoditas yang di impor hanya komoditas tertentu sedangkan relatif terdistribusi memiliki arti semakin banyak jenis impor yang diperlukan oleh negara tersebut (Atmaji, 2004).
            Berdasarkan Tabel 4.5, angka DKK Standar yang diperoleh adalah 50,10863. Median dari perolehan angka DKK selama kurun waktu 16 tahun (periode 2000 – 2015) sebesar 0,430165. Jika angka DKK hasil perhitungan dibandingkan dengan DKK standar, terlihat bahwa angka DKK hasil perhitungan = 0,43 lebih kecil daripada angka DKK standar = 50,1.
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Derajat Konsentrasi Komoditas Daging Sapi
di Indonesia Tahun 2000 – 2015




Tahun


Nilai Impor Total (Juta USD)*


Nilai Impor Daging Sapi (Juta USD)*


Derajat Konsentrasi Komoditas*




2000


33.514,8


39,39


0,47012




2001


30.962,1


22,79


0,29442




2002


31.288,9


17,86


0,22832




2003


32.550,7


17,68


0,21726




2004


46.524,5


25,52


0,21941




2005


57.700,9


40,91


0,2836




2006


61.065,5


46,22


0,30275




2007


74.473,4


89,21


0,47915




2008


129.197,3


123,12


0,38118




2009


96.829,2


182,99


0,75592




2010


135.663,3


281,98


0,83141




2011


177.435,6


219,89


0,4957




2012


191.689,5


127,71


0,26649




2013


186.628,7


189,41


0,40596




2014


178.178,8


318,46


0,71492




2015


142.694,8


215,12


0,60302




Rata-rata


100.400


122,39


0,43435




            Sumber: * Badan Pusat Statistik, 2016 dan UNCOMTRADE, 2017
                        ** Data diolah 2018
            Hal ini mempunyai arti bahwa angka DKK di Indonesia relatif terdistribusi, keadaan yang kurang menguntungkan bagi Indonesia karena ini berarti semakin banyak jenis komoditas impor yang diperlukan negara tersebut, artinya Indonesia sangat bergantung pada transaksi impor daging sapi yang menyebabkan efek demonstrasi yang semakin besar. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Brata pada tahun 2015, yang berjudul Derajat Keterbukaan Impor dan Derajat Konsentrasi Komoditas Kedelai di Indonesia dan penelitian Eko Atmaji tahun 2004 yang berjudul Analisis Impor Indonesia, yang menyatakan bahwa impor Indonesia relatif terdistribusi.
Perhitungan Besaran Impor Tambahan atau Marginal Propensity to Import (MPM)
            Dalam analisis impor, indikator marginal propensity to import atau MPM menunjukkan berapa besar pertambahan impor akibat pertambahan pendapatan nasional satu satuan uang (Eko Atmaji, 2004). MPM merupakan derajat kecenderungan peningkatan pengeluaran untuk volume impor pada saat pendapatan nasional meningkat.
            Berdasarkan hasil analisis program SPSS ver.22 dengan menggunakan teknik analisis regresi linear sederhana didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.7 Analisis Regresi Sederhana Impor Daging Sapi Terhadap PDB




Coefficientsa




Model


Unstandardized Coefficients


Standardized Coefficients


t


Sig.




B


Std. Error


Beta




1


(Constant
 
Publisher E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana
E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana
 
Date 2018-07-20
 
Type info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
Peer-reviewed Article
 
Format application/pdf
 
Identifier https://ojs.unud.ac.id/index.php/eep/article/view/39881
 
Source E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana; Vol. 7, No. 8, Agustus 2018 (pp. 1587-1825); 1737-1766
E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana; Vol. 7, No. 8, Agustus 2018 (pp. 1587-1825); 1737-1766
2303-0178
 
Language eng
 
Relation https://ojs.unud.ac.id/index.php/eep/article/view/39881/24827
 
Rights Copyright (c) 2018 E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana